"Kehidupan, mungkin adanya kehidupan karena kehidupan itu sendiri, dan definisi kehidupan itu masih belum di definisikan, mengapa dan kenapa " Hasan

Sabtu, Desember 10, 2016

Ah Matam(k)u

Melihat, memandang atau bahkan “menghakimi” adalah beberapa kegiatan yang dilakukan oleh mata, entahlah apa ittu mata yang ada di kepala atau apa yang dinamakan mata jati. Dengan semua fungsi tersebit apakah hal itu berkah atau musibah? Ataukah musibah atau berkah itu ditangguhkan oleh penggunanya? Atau lagi takdir telah memilih mata untuk berperan sebagai fungsi tersebut? Ah jika saja semuanya diserahkan kepada takdir, tak usahhlah manusia diberi akal, betapa bodohnya aku ini.




Mataku melihat sendiri banyak orang yang membutakan diri terhadap 180 derajat yang terpampang di depan matanya, ah mungkin aku sendiri yang melakukannya, aku melihatnya tapi aku acuh pada hal-hal lain yang ada di bagian lain, ah mungkin mataku ini buta sebelah, yang kulihat hanya sekitar 90 derajat yang ada di depanku, aku mengacuhkan bagian besar lainnya.

Mataku memandang sendiri dengan banyak perspektif dan aku sendiri mungkin memang seorang yang egois,aku hanya menggunakan mataku untuk memandang yang indah-indah menjauhi hal yang tidak indah, mataku jijik jika melihat hal yang tak indah.

Mataku sendiri juga menghakimi banyak hal, baik buruknya suatu hal, bahkan aku dengan egoku sendiri mampu memilah mana yang benar-benar bai dan mana yang benar-benar buruk, ah aku me-nuhan-kan diriku sendiri.

Aku sendiri pernah berpikir dimana dunia tanpa bermata, dunia yang penuh dengan kepedulian tanpa melihat, tanpa memandang, tanpa memilah-milah kebenaran tanpa membedakan. Apakah dunia tanpa mata ini bentuk dunia yang sempurna? Ah aku menghakimi yang menciptakan mata ini.

Stereo caffe
maret 2016

Orang beruntung



Apakah kau pernah mendengar tentang orang-orang yang beruntung? Tentang bagaimana kehidupan mereka atau tentang apa sebenarnya makna dari keberuntungan? Apakah keberuntungan itu memang ada?
..............

Datanglah orang beruntung itu ke pasar dekat pesisir laut hindia dan memamerkan keberuntungannya diteengan orang-orang yang telah tidak beruntung yang ada di pasar sambil membawa lentera di tangan kanannya di pagi hari.
“aku orang yang beruntung” teriak orang yang beruntung
Seantero pasar tidak menggubrisnya, kesal dengan sifat acuh orang-orang di pasarr, orang beruntungpun berteriak lebih keras berulang kali
“Aku orang yang beruntung, tidak ada orang yang seberuntung diriku”
Teriakan itu mengganggu kegiatan pasar dan orang-orang pasarpun geram dengan tingkah laku orang baru itu. Akhirnya orang-orang pasar mengerumuninya.
“Beruntung apanya, yang kaumiliki hanya sebuah lentera malah membawanya di pagi hari”
Orang-orang itu ganti mentertawakan orang yang beruntung tadi
“memang apa ada orang yang lebih beruntung dari aku? Tanya orang beruntung itu
Tawa kerumunan orang-orang itu semakin menjadi meriah
“banyak” sahut orang pasar yang ada di pojok kerumunan
“orang disana memiliki sejumlah rumah, penjual disana memiliki sejumlah mobil, bahkan Tukang parkir itu memiliki istri dua”
Gelak tawa semakin meriah dalam kerumunan itu
“Dan mengapa mereka lebih beruntung?” tanya serius orang beruntung
“tidakkah kau lihat, bandingkan dirimu dengan mereka” sahut seorang di pasar
“dan kamu?” tanya orang beruntung
“aku memang tidak seberuntung mereka, bahkan kami memang tidak seberuntung mereka, tapilebih beruntung daripada kamu pastinya”
Gelak tawa semakin meriah menertawakan orang beruntung itu bak orang beruntung adalah orang gila
Tetapi akhirnya orang beruntung pun terdiam sejenak, dan akhirnya orang beruntung itu tertawa terbahak menertawakan orang-orang pasar dan menyalakan lenteranya lebih terang sambil mengelilingi kerumunan orang-orang pasar itu.
“Waktuku belum tiba, petir saja membutuhkan waktu untuk menyambar, cahaya membutuhkan waktu untuk bersinar, sekali lagi waktuku belum tiba”
Orang beruntung itupun pergi meninggalkan kerumunan otang-otang pasar sambil mebawa lentera dengan kedua tangannya
Pertigaan komplek G
8 desember 2016

Minggu, Oktober 16, 2016

Penggembala Kecil

Anak itu memainkan seruling bambunya sembari menjalankan gembalanya, dan gembalanyapun hinggap di nada-nada minor seruling permainan si anak. Walau si anak tidak menyadari bahwa yang dimainkan adalah nada-nada minor, tetapi si anak menikmatinya dari pagi sampai petang ketika menjalankan gembalanya, biasanya dia pergi ke ladang yang jauhnya kira-kira satu jam dari rumahnya dan anak tersebut hanya berbekal seruling untuk menggembalai gembalanya, dan anak itu selalu berkeyakinan
‘Walau hanya seekor, gembala ini akan beranak pinak suatu saat nanti’
Setelah bertahun-tahun, harapannya tak kunjung datang. Si anak mulai bingung, dia mulai berfikir
‘biasanya yang namanya gembala pasti beranak pinak, tetapi apa yang kudapat? Tak dia menguntungkanku, padahal dari yang namanya matahari sampai terbenam aku menyuguhkan makan serta minum untuknya, tetapi apa yang kudapat?’
Lama dia merenung seharian itu, sampai senjapun tiba. Dia lupa memberi makan gembalanya sehingga gembalanya lemas, enggan berjalan pulang. Si anak lalu mencari makanan disekitar tempat peristirahatannya, dia menemukan seekor hewan yang telah terbunuh oleh pemburu, dia mengambilnya dan membawanya ke tempat peristirahatannya. Setelah dimasak, dia beri sepotong buat gembalaannya dan sisanya untuk dirinya. Disantap makanannya dengan lahap, tetapi ketika makanannya mau habis dia melihat gembalaannya, gembalanya tidak mau memakannya. Dia bingung sekali lagi.

Seorang tua, memakai baju compang camping berjalan setengah kikuk mendatangi perapian si anak itu dan menyapanya;
‘selamat petang penggembala kecil, sedang apa kau?’
‘ah aku sedang makan daging ini, kau mau? Kebetulan gembalaanku tidak mau memakannya’
‘boleh, walau Cuma pengganjal perut’
‘dari pakaianmu, kau mungkin pengembara, pasti kau pernah melihat banyak hal indah’
‘iya aku pengembara’
‘bolehkah aku bertanya? Mengapa gembalaanku ini tida beranak pinak?’
‘seruling itu? Apakah kau membuatnya?’ pengembara menyahut
‘bukan itu milik ayahku, hal itu yang menemaniku menggembala setiap hari’
‘apakah kau tahu bagaimana serbuah seruling bisa menghasilkan suara?’
‘ah kau malah beranya padaku, padahal aku bertanya duluan padamu tadi tentang gembalaku’
Si pengembara dia sembari menghabiskan daging tersebut, dia berpesan kepada anak tadi
‘bagaimana kau bisa mengetahui akhir, jika awalnya saja kau tidak tahu, anak muda’
Setelah berpesan demikian sang pengembara pergi meninggalkan si anak yang masih termenung dengan kata-katanya tadi. Si anak mulai bingung untuk ketigakali dia melihat serulingnya, membolak balikkannya sampai dia bosan. Dia berteriak kepada sang pengembara yang telah berlalu tanpa dia sadari
‘apanya? Apanya yang awal, apanya yang akhir? Kau pasti mengarang tentang seruling ini! Apa hubungannya dengan gembalaanku yang enggan beranak pinak, dasar pak tua sialan!’
Ternyata sang pengembara mendengar teriakan tersebut dan membalas
“kau tidak tahu etika anak muda, jikalau aku yang menjadi gembalamu, aku akan pergi meninggalkanmu’
Si anak sadar bahwa pengembara sudah pergi dan teriakan itu didengarnya dari jauh, dia enggan menjawab teriakan itu dan dia putuskan untuk tidur.
Pada pagi harinya si anak masih melihat gembalanya tertidur disampingnya, diapun mengambilkan gembalanya seteguk air dari sungai. Setelah mengambil air, dia masih mendapati gembalanya tidur di tengah ladangnya itu dan enggan terbangun. Pada akhirnya dia terpaksa membangunkannya dan ternyata gembalanya masih bisa bangun dan meneguk air tersebut.
Sembari melihat gembalanya minum, si anak memainkan serulingnya. Nada nada yang dimainkan memang indah, tetapi baru ini dia mendengarnya dengan seksama. Dan dia mulai merenung kembali, mengapa nada yang indah ini tidak menjadikan gembalaku beranak pinak?, tetapi apa hubungan seruling ini dengan gembalaku?
Si anak melanjutkan gembalanya, memberikan makan dua kali lebih banyak dari hari hari bisanya, dan untuk mendapat kejelasan tentang renungannya dia enggan pulang lagi malam itu, dia bermaksud bertemu lagi dengan orang tua tadi malam dan ingin meminta maaf tentang teriakannya kemarin.
Senja berlaih petang sampau bulanpun bersinar terang, tetapi tak satupun orang lewat di ladangnya petang itu dan si anak memutuskan untuk tidur setelah beberapa jam lamanya meunggu.
Pada hari berikutnya, dia tidak mendapati gembalanya di dekatnya, diapun bingung dan mencarinya kemana-mana, tetapi tidak menemukannya. Dia memutuskan untuk menaiki bukit dekat ladangnya dan dia menemukan asap perapian di sebelah ladangnya. Tanpa berpikir panjang dia berlari ke arah itu dan didapatinya si pengembara tua yang pernah ditemuinya sedang memasak makanan. Diapun menemuinya
‘hai pak pengembara, aku hanya ingin minta maaf soal kemarin’
‘Hal itu biasa bagi seorang anak sepertimu’
‘tetapi apa kau tahu gembalaku yang kemarin sempat kau lihat itu?’
‘gembalaanmu, yang seekor itu?’
Iya pak pengembara, aku kehilangannya tadi’
‘makanlah dulu anak muda, kau agak keliatan lapar , sudah berapa hari kau tak makan?’
Sang anak langsung mengambil makanan yang ditawarkan dan menyantapnya, selah meminum beberapa teguk air dia bertanya lagi
‘apa kau tahu gembalaanku, pak pengembara?’
‘mungkin kau bangun kesiangan hari ini’
‘apakah kau tahu pak pengembara, aku takkan mengulangi pertanyaanku’
‘maaf anak muda aku tidak tahu, tetapi apakah benar kau kesiangan hari ini?’
‘iya itu benar pak pengembara, kenapa memangnya’
‘kau tahu seruling itu?’
‘apanya ? seruling ini, ini hanya seruling biasa pak pengembara, kau bisa memilikinya dengan menukan sepotong kain bekas di pasar dengan seruling ini jika kau mau’
‘tidak anak muda, kau tahu seruling itu hasil dari perpaduan dua keindahan dunia, yang dengan sentuhan dunia ketga dia menghasilkan bentuk yang bisa menghasilkan suara indah, dan dengan sentuhan orang di dunia keempat dia bisa menghasilkan nada-nada indah yang bisa dipahami oleh semua makhluk di empat dunia itu’
‘ah kau selalu membual’
‘bukan membual anak muda, kan aku sudah bilang kau tidak tahu etika, bagaimana kau bisa mengetahui sebuah akhir, jikalau awalnya saja kau tidak tahu?’

Rabu, Juni 08, 2016

Kupu-kupu - Kupu-kupu



Aku selalu menyukai kupu-kupu, kupu kupu terbang kesana kemari dengan sayapnya yang lebih rapuh daripada kapas dan kebebasan-kebebasannya yang mengajinasikan pikiranku terbang. Sayapnya terlalu indah untuk menyala bahkan tidak akan sedikit rusak jika ketakutan menghantuinya, yah memang ketakutan tidak akan berarti apa-apa jika kupu-kupu tidak takut terhadapnya.


            Aku selalu menyukai kupu-kupu, bahkan jika engkau dianggap jika engkau dianggap sebagai kupu-kupu malam yang dihinakan oleh kejujuran. Kejujuran yang menggerogoti sedikit demi sedikit jiwamu sehingga jiwamu menghilang dari kehidupan-kehidupan semu. Ah kupu-kupu malam, mengapa engkau begitu tidak disukai, padahal kejujuranmu tanpa topeng sedikitpun! bagaimana aku tahu? Karena tidak mungkin sayapmu yang begitu rapuh, mampu mengangkat topeng yang begitu berat, melampaui beratmu sendiri atau bahkan berat jiwamu!

Aku selalu menyukai kupu-kupu, jika engkau tidak suka kupu-kupu malam? Apakah engkau bisa menyukai kupu-kupu pagi?, ah kupu-kupu, engkau selalu tidak disukai dan hampir senantiasa selalu dibenci, alangkah tidak pedulinya engkau dengan kehidupan, engkau selalu menebar keindahan tanpa pamrih , membuatku iri untuk menjalani banyak kehidupan-kehidupan dalam drama marcapada ini.

            Aku selalu menyukai kupu-kupu, aku pernah bermimpi, menjadi kupu-kupu! Terbang dengan segala sayap kebebasanku, ketidak tergantungan dengan kupu-kupu lain karena aku tidak mengganggu oranglain, aku hanya menebar keindahan di bumi ini, menghibur yang lelah jiwanya dan yang sedih hatinya, tetapi ketika aku terbangun aku serasa tidak hidup lagi karena aku terlampaui terlena untuk menjadi kupu-kupu.

            Aku selalu bisa menyukai kupu-kupu, cita-citamu sungguh indah, setelah menebarkan keindahan engkau begitu saja menghilang dari dunia, dan engkau berenkarnasi menjadi suatu yang buruk terlebih dahulu untuk menebarkan suatu keindahan proses lagi, agar memberikan kesempurnaan keindahaanmu. Ah kupu-kupu indahlah selalu aku selalu menunggu indahnya indahmu

            Aku akan selalu bisa menyukai kupu-kupu, kehidupanku sekarang kupertaruhkan untuk menjadimu, kupu-kupu. Akan kumelangkah maju dengan kaki dan tangan rapuhku untuk mengindahkan, seperti yang kau lakukan. Kupu-kupu, sedikit demi sedikit aku akan menjadimu untuk menyambung-nyambung keindahan yang ada di marcapada ini sampai ke tingkat terburukku. Bukankah belum ada keindahan yang seindah keburukan?.

Hasan
7 juni 2016
3 romadhon 1437 H


Designed by
Blog Need Money | Distributed Deluxe Templates