Anak itu memainkan seruling bambunya
sembari menjalankan gembalanya, dan gembalanyapun hinggap di nada-nada minor
seruling permainan si anak. Walau si anak tidak menyadari bahwa yang dimainkan
adalah nada-nada minor, tetapi si anak menikmatinya dari pagi sampai petang
ketika menjalankan gembalanya, biasanya dia pergi ke ladang yang jauhnya
kira-kira satu jam dari rumahnya dan anak tersebut hanya berbekal seruling
untuk menggembalai gembalanya, dan anak itu selalu berkeyakinan
‘Walau hanya seekor, gembala ini
akan beranak pinak suatu saat nanti’
Setelah bertahun-tahun, harapannya
tak kunjung datang. Si anak mulai bingung, dia mulai berfikir
‘biasanya yang namanya gembala pasti
beranak pinak, tetapi apa yang kudapat? Tak dia menguntungkanku, padahal dari
yang namanya matahari sampai terbenam aku menyuguhkan makan serta minum
untuknya, tetapi apa yang kudapat?’
Lama dia merenung seharian itu,
sampai senjapun tiba. Dia lupa memberi makan gembalanya sehingga gembalanya
lemas, enggan berjalan pulang. Si anak lalu mencari makanan disekitar tempat
peristirahatannya, dia menemukan seekor hewan yang telah terbunuh oleh pemburu,
dia mengambilnya dan membawanya ke tempat peristirahatannya. Setelah dimasak,
dia beri sepotong buat gembalaannya dan sisanya untuk dirinya. Disantap
makanannya dengan lahap, tetapi ketika makanannya mau habis dia melihat
gembalaannya, gembalanya tidak mau memakannya. Dia bingung sekali lagi.
Seorang tua, memakai baju compang
camping berjalan setengah kikuk mendatangi perapian si anak itu dan menyapanya;
‘selamat
petang penggembala kecil, sedang apa kau?’
‘ah
aku sedang makan daging ini, kau mau? Kebetulan gembalaanku tidak mau
memakannya’
‘boleh,
walau Cuma pengganjal perut’
‘dari
pakaianmu, kau mungkin pengembara, pasti kau pernah melihat banyak hal indah’
‘iya
aku pengembara’
‘bolehkah
aku bertanya? Mengapa gembalaanku ini tida beranak pinak?’
‘seruling
itu? Apakah kau membuatnya?’ pengembara menyahut
‘bukan
itu milik ayahku, hal itu yang menemaniku menggembala setiap hari’
‘apakah
kau tahu bagaimana serbuah seruling bisa menghasilkan suara?’
‘ah
kau malah beranya padaku, padahal aku bertanya duluan padamu tadi tentang
gembalaku’
Si pengembara dia sembari
menghabiskan daging tersebut, dia berpesan kepada anak tadi
‘bagaimana kau bisa mengetahui
akhir, jika awalnya saja kau tidak tahu, anak muda’
Setelah berpesan demikian sang
pengembara pergi meninggalkan si anak yang masih termenung dengan kata-katanya
tadi. Si anak mulai bingung untuk ketigakali dia melihat serulingnya, membolak
balikkannya sampai dia bosan. Dia berteriak kepada sang pengembara yang telah
berlalu tanpa dia sadari
‘apanya?
Apanya yang awal, apanya yang akhir? Kau pasti mengarang tentang seruling ini!
Apa hubungannya dengan gembalaanku yang enggan beranak pinak, dasar pak tua
sialan!’
Ternyata
sang pengembara mendengar teriakan tersebut dan membalas
“kau
tidak tahu etika anak muda, jikalau aku yang menjadi gembalamu, aku akan pergi
meninggalkanmu’
Si anak sadar bahwa pengembara sudah
pergi dan teriakan itu didengarnya dari jauh, dia enggan menjawab teriakan itu
dan dia putuskan untuk tidur.
Pada pagi harinya si anak masih
melihat gembalanya tertidur disampingnya, diapun mengambilkan gembalanya
seteguk air dari sungai. Setelah mengambil air, dia masih mendapati gembalanya
tidur di tengah ladangnya itu dan enggan terbangun. Pada akhirnya dia terpaksa
membangunkannya dan ternyata gembalanya masih bisa bangun dan meneguk air
tersebut.
Sembari melihat gembalanya minum, si
anak memainkan serulingnya. Nada nada yang dimainkan memang indah, tetapi baru
ini dia mendengarnya dengan seksama. Dan dia mulai merenung kembali, mengapa
nada yang indah ini tidak menjadikan gembalaku beranak pinak?, tetapi apa
hubungan seruling ini dengan gembalaku?
Si anak melanjutkan gembalanya,
memberikan makan dua kali lebih banyak dari hari hari bisanya, dan untuk
mendapat kejelasan tentang renungannya dia enggan pulang lagi malam itu, dia
bermaksud bertemu lagi dengan orang tua tadi malam dan ingin meminta maaf
tentang teriakannya kemarin.
Senja berlaih petang sampau bulanpun
bersinar terang, tetapi tak satupun orang lewat di ladangnya petang itu dan si
anak memutuskan untuk tidur setelah beberapa jam lamanya meunggu.
Pada hari berikutnya, dia tidak
mendapati gembalanya di dekatnya, diapun bingung dan mencarinya kemana-mana,
tetapi tidak menemukannya. Dia memutuskan untuk menaiki bukit dekat ladangnya
dan dia menemukan asap perapian di sebelah ladangnya. Tanpa berpikir panjang
dia berlari ke arah itu dan didapatinya si pengembara tua yang pernah
ditemuinya sedang memasak makanan. Diapun menemuinya
‘hai pak pengembara, aku hanya ingin
minta maaf soal kemarin’
‘Hal itu biasa bagi seorang anak
sepertimu’
‘tetapi apa kau tahu gembalaku yang
kemarin sempat kau lihat itu?’
‘gembalaanmu, yang seekor itu?’
Iya pak pengembara, aku
kehilangannya tadi’
‘makanlah dulu anak muda, kau agak
keliatan lapar , sudah berapa hari kau tak makan?’
Sang anak langsung mengambil makanan
yang ditawarkan dan menyantapnya, selah meminum beberapa teguk air dia bertanya
lagi
‘apa
kau tahu gembalaanku, pak pengembara?’
‘mungkin
kau bangun kesiangan hari ini’
‘apakah
kau tahu pak pengembara, aku takkan mengulangi pertanyaanku’
‘maaf
anak muda aku tidak tahu, tetapi apakah benar kau kesiangan hari ini?’
‘iya
itu benar pak pengembara, kenapa memangnya’
‘kau
tahu seruling itu?’
‘apanya
? seruling ini, ini hanya seruling biasa pak pengembara, kau bisa memilikinya
dengan menukan sepotong kain bekas di pasar dengan seruling ini jika kau mau’
‘tidak
anak muda, kau tahu seruling itu hasil dari perpaduan dua keindahan dunia, yang
dengan sentuhan dunia ketga dia menghasilkan bentuk yang bisa menghasilkan
suara indah, dan dengan sentuhan orang di dunia keempat dia bisa menghasilkan
nada-nada indah yang bisa dipahami oleh semua makhluk di empat dunia itu’
‘ah
kau selalu membual’
‘bukan
membual anak muda, kan aku sudah bilang kau tidak tahu etika, bagaimana kau
bisa mengetahui sebuah akhir, jikalau awalnya saja kau tidak tahu?’
0 komentar:
Posting Komentar