"Kehidupan, mungkin adanya kehidupan karena kehidupan itu sendiri, dan definisi kehidupan itu masih belum di definisikan, mengapa dan kenapa " Hasan

Sabtu, Juni 28, 2014

Artikel, Do'a,Usaha, Tawakkal Dan syukur

banyak ilmu yang saya dapat di mata kuliah teologi islam, dan ini adalah tugas terakhir saya di mata kuliah teologi islam, yaitu membuat artikel.



MERAIH KESUKSESAN MELALUI DO’A, USAHA, TAWAKKAL Dan SYUKUR

Oleh :
Grafik Akbar Muttaqin
Mahasiswa S1 Jurusan Matematika
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang


Abstract :
Succes is the most important thing what we want in this life and afterlife, this whords often misunderstanding by people, because everypeople have their own concept,the concept of success must be with pray, maximal effort,, tawakkal, and thankGod. Success will be reach if the desire of the heart reach, because in our life, The God blow His Soul, and every people have God sound in every heart, but sometimes satan deflect the desire of the God  to be the wish of satan, because of that, we must understanding about all of the concept of success.
Keyterm : Pray, Effort, Tawakkal, ThanksGod, and Succes
1.                  Pendahuluan
Sukses adalah hal yang diinginkan banyak manusia, baik di dunia dan di akhirat. Banyak manusia yan menginginkan dan mengartika sukses itu dalam persepsi mereka sendiri-sendiri, itu wajar karena bagi banyak manusia sukses itu adalah sesuatu yang ada di cita-citakan mereka sendiri, dan setiap pemikiran itu berbeda-beda, maka dari itulah mereka memiliki Do’a, usaha, tawakal dan syukur yang berbeda-beda. Sehingga banyak manusia yang menyalah artikan beberapa konsep tentang do’a, usaha, tawakal, dan syukur ini. Untuk ini artikel ini disusun agar bisa mengarahkan dan memberi paradigm baru kepada setiap orang agar bisa berdoa, berusaha, bertawakal dan bersyukur yang baik sehingga mendapat kesuksesan yang hakiki.
2.                  Do’a
Menurut Ibnu Faris doa dari sudut bahasa ialah memalingkan sesuatu kepada anda dengan suara dan kata (Maqayis al-Lughah). Menurut Ibnu Manzur doa dari segi asal bahasa ialah menyeru(Lisan al-‘Arab).  Manakala doa menurut istilah syarak sepertimana yang didefinisikan oleh al-Imam al-Khattabi ialah pemohonan pertolongan dan bantuan oleh seorang hamba dari Tuhannya dan hakikat doa iaitu menzahirkan kefakiran, kelemahan dan kehinaan diri kepada Allah yang di dalamnya termetrai pengagungan terhadap Allah swt dan mengiktiraf sifat kemulian dan pemurahNya. (Sya’n al-Dua’)

Definisi doa yang dinyatakan oleh Imam al-Khattabi rahimahullah menjelaskan bahawa doa merupakan pohonan seorang hamba dari Allah s.w.t, sepertimana firman Allah swt di dalam surah al-Baqarah ayat 186:

 “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”

Firman Allah lagi di dalam ayat yang lain iaitu dalam surah Ghaafir ayat 60:

“Dan Tuhan kamu berfirman: Berdoalah kamu kepadaKu nescaya Aku
perkenankan doa permohonan kamu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong takbur daripada beribadat dan berdoa kepadaKu, akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina.”

Terdapat Hadith Nabi s.a.w ada menjelaskan kepada kita doa adalah permohonan dengan sabda Baginda:
“Kamu telah memohon dari Allah dengan menyebut namaNya yang agung Jika (Allah) diminta dengannya, Allah akan memberi dan jika (Allah) didoa dengannya, Allah akan memperkenankannya”. Hadith riwayat Abu Daud.

Definisi di atas juga menjelaskan bahawa doa itu adalah dambaan seorang hamba agar Allah memberi pertolongan kepadanya. Ini berasaskan firman Allah swt yang mencela sikap kaum kuffar yang memohon bantuan selain dariNya:

“Katakanlah (wahai Muhammad): Khabarkanlah kepadaku, jika datang kepada kamu azab Allah atau datang kepada kamu hari kiamat, adakah kamu akan menyeru yang lain dari Allah (untuk menolong kamu), jika betul kamu orang-orang yang benar?  Bahkan Dialah (Allah) yang kamu seru lalu Dia hapuskan bahaya yang kamu pohonkan kepadaNya jika Dia kehendaki dan kamu lupakan apa yang kamu sekutukan (dengan Allah dalam masa kamu ditimpa bahaya itu).” Al-An’am ayat 40-41.

Dalam konteks yang lain, doa bukan sahaja memberi maksud permohonan seseorang dari tuhannya. Doa juga boleh diertikan sebagai satu gaya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt sepertimana yang didefinisikan oleh Ibnu Manzur di dalam karyanya Lisan al-‘Arab iaitu ‘berkehendak kepada Allah swt’. Definisi ini membawa maksud pengabdian diri seseorang hamba kepada Allah, ia merangkumi pengagungan, penyucian zat Allah swt dari persamaan dengan sebarang makhluk, momohon rahmatNya, keampunan dariNya dan seumpamanya, seperti firman Allah di dalam surah al-Kahf ayat 28:
“Dan jadikanlah dirimu sentiasa berdamping rapat dengan orang-orang yang beribadat kepada Tuhan mereka pada waktu pagi dan petang, yang mengharapkan keredaan Allah semata-mata”

3.                  Usaha
Ikhtiar dalam bahasa Arab berasal dari kata khair yang artinya baik. Ikhtiar adalah berusaha sungguh-sungguh dengan menempuh jalan yang sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu yang berlaku dalam bidang yang diusahakan, dengan disertai doa kepada Allah agar usahanya itu berhasil.
Dalam ikhtiar terkandung pesan taqwa, yakni bagaimana kita menuntaskan masalah dengan mempertimbangkan pertama-tama apa yang baik menurut Islam, dan kemudian menjadikannya sebagai pilihan, apapun konsekuensinya dan meskipun tidak popular atau terasa berat. Larangan berputus asa telah Allah contohkan dalam kisah Nabi Ya’kub di Al-Qur’an surat Yusuf (12) ayat 87:
¢ÓÍ_t7»t (#qç7ydø$# (#qÝ¡¡¡ystFsù `ÏB y#ßqã ÏmÅzr&ur wur (#qÝ¡t«÷($s? `ÏB Çy÷r§ «!$# ( ¼çm¯RÎ) w ß§t«÷($t `ÏB Çy÷r§ «!$# wÎ) ãPöqs)ø9$# tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÑÐÈ  
Artinya : “Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”

4.                  Tawakkal
Arti Etimologis
Tawakal (bahasa Arab: توكُل) atau tawakkul dari kata wakala dikatakan, artinya, ‘meyerah kepadaNya’.[1]
 Dalam agama Islam, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan.
Arti Terminologis
Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-galanya, pengetahuanNya Maha Luas, Dia yang menguasai dan mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang dan tenteram serta tidak ada rasa curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Dengan demikian, tawakkal kepada Allah bukan berarti penyerahan diri secara mutlaq kepada Allah, melainkan penyerahan diri yang harus didahului dengan ikhtiar secara maksimal. Abu Mu’thy Balkhy berkata kepada Hatim al-‘Ashom : “Betulkah engkau berjalan tanpa bekal di hutan ini hanya semata-mata bertawakal ? Jawabnya : “Tidak, aku bepergian jauh pasti berbekal”, “Lalu apa bekalnya ?” Jawabnya : “Empat perkara bekalku, yaitu :
1.    Aku yakin bahwa dunia seisinya adalah milik allah SWT
2.    Semua makhluk adalah hamba-Nya
3.    Segala usaha/bekerja adalah semata hanya faktor penyebab saja, sedangkan rizqi ada di tangan Tuhan
4.    Dan aku yakin bahwa : “Ketentuan-Nya pasti berlaku bagi semua makhluk”[2]
Kata Abu Mu’hty : “Itulah bekal yang paling baik, karena bekalmu itu sanggup menempuh perjalanan yang sangat jauh (akhirat), maka tiada artinya jika hanya perjalanan diatas bumi (dunia).

5.                  Syukur

A. Pengertian Syukur Menurut Bahasa dan Istilah
Kata syukur diambil dari kata syakara, syukuran, wa syukuran,dan wa syukuran yang berarti berterima kasih keapda-Nya. Bila disebut kata asy-syukru, maka artinya ucapan terimakasih, syukranlaka artinya berterimakasih bagimu, asy-syukru artinya berterimakasih, asy-syakir artinya yang banyak berterima kasih. Menurut Kamus Arab – Indonesia, kata syukur diambil dari kata syakara, yaskuru, syukran dan tasyakkara yang berarti mensyukuri-Nya, memuji-Nya.
Syukur berasal dari kata syukuran yang berarti mengingat akan segala nikmat-Nya Menurut bahasa adalah suatu sifat yang penuh kebaikan dan rasa menghormati serta mengagungkan atas segala nikmat-Nya, baik diekspresikan dengan lisan, dimantapkan dengan hati maupun dilaksanakan melalui perbuatan. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa syukur menurut istilah adalah bersykur dan berterima kasih kepada Allah, lega, senang dan menyebut nikmat yang diberikan kepadanya dimana rasa senang, lega itu terwujud pada lisan, hati maupun perbuatan.

B. Pengertian Syukur dalam Alquran
Ada beberapa ayat yag membahas tentang syukur, salah satunya adalah
Surah al-Furqan, 25/042: 62
uqèdur Ï%©!$# Ÿ@yèy_ Ÿ@øŠ©9$# u‘$yg¨Y9$#ur Zpxÿù=Åz ô`yJÏj9 yŠ#ur& br& tž2¤tƒ ÷rr& yŠ#ur& #Yqà6ä© ÇÏËÈ
Artinya:
Dan dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur” (QS. Al-Furqan: 62).
Ayat ini tergolong Makkiyah dan tidak ditemukan sebab turunnya (asbab al-nuzul), ayat ini ada hubungannya dengan ayat sebelumnya bahwa Allah telah membeberkan beberapa dalil tauhid dan menunjuk kepada beberapa tanda-tanda kebesaran dan bukti yang ada di dalam alam yang membuktikan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Kemudian Allah kembali menjelaskan perkataan dan perbuatan mereka yang keji. Karena, sekalipun mereka telah menyaksikan segala bukti, namun mereka tidak meninggalkan perbuatan sesatnya malah berpaling dari mengingat Tuhan, sehingga hanya kalau disembah dan tidak dapat mendatangkan azab kalau tidak disembah. Di samping itu, mereka membantu para penolong, setan dan menjauhi para penolong ar-Rahman. Jika kau heran terhadap sesuatu, maka heranlah terhadap perkara mereka, karena kejahilannya telah sampai kepada membahayakan orang yang datang untuk memberikan kabar gemberia tentang kebaikan yang meyeluruh jika mreka menaati Tuhan, dan mengingatkan mereka dari malapetaka dan kebinasaan jika mereka mengingkari-Nya. Lebih dari itu, rasul tidak mengharapkan imbalan dari dakwah itu.
Allah juga memerintahkan kepada rasulnya agar tidak takut terhadap ancaman dan siksaan mereka, tetapi hendaknya beliau bertawakkal kepada Tuhan, bertasbih seraya memuji-Nya.
Ayat ini ditafsirkan oleh al-Maragi sebagai berikut bahwa Allah telah menjadikan malam dan siang silih berganti, agar hal itu dijadikan pelajaran bagi orang yang hendak mengamil pelajaran dari pergantian keduanya, dan berpikir tentang ciptaan-Nya, serta mensyukuri nikmat tuhannya untuk memperoleh buah dari keduanya. Sebab, jika dia hanya memusatkan kehidupan akhirat maka dia akan kehilangan waktu untuk melakukan-Nya. Dengan demikian diketahui bahwa ayat yang berkenaan dengan pengertian syukur dalam ayat tersebut pada dasarnya adalah lafal yang berbunyi اراد شكورا Jadi arti syukur menurut al-Maragi adalah mensyukuri nikmat Tuhan-Nya dan berpikir tentang cipataan-Nya dengan mengingat limpahan karunia-Nya.Hal senada dikemukakan Ibn Katsir bahwa syukur adalah bersyukur dengan mengingat-Nya. Penafsiran senada dikemukakan Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd Rahman Abi Bakr al-Suyutiy dengan menambahkan bahwa syukur adalah bersyukur atas segala nikmat Rabb yang telah dilimpahkan-Nya pada waktu itu. Departemen Agama RI juga memaparkan demikian, bahwa syukur adalah bersyukur atas segala nikmat Allah dengan jalan mengingat-Nya dan memikirkan tentang ciptaan-Nya. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa syukur adalah bersyukur atas segala nikmat Tuhan-Nya dengan mengingat dan berpikir tentang ciptaan-Nya.

6.                  Sukses
Kesuksesan bukanlah terpenuhinya "keinginan", karena yang namanya keinginan tidak akan menggiring kita pada sesuatu yang sebenarnya, melainkan hanya fatamorgana kehidupan yang tidak ada habisnya, sementara usia semakin senja. Dari jauh kelihatan menyegarkan, setelah didekati ternyata tidak ada air di tempat itu. Dan ia melihat ada air lagi ditempat yang lebih jauh, setelah didekati ternyata air itu tidak ada lagi, dan begitulah seterusnya. Dalam praktik kehidupan dunia nyata, dapat diilustrasi seperti orang miskin. Ketika dia miskin maka dia ingin kaya, tetapi ketika dia sudah kaya, apakah dia sudah tidak perlu memiliki harapan untuk sukses lagi? ataukah sudah selesai hidupnya? tentu mereka akan menjawab belum, sebab orang miskin yang sudah menjadi kaya kana merasakan bahwa kekayaan yang telah diperolehnnya itu kini adalah hal yang biasa saja. Ia ingin lebih kaya lagi, dan ketiak dia menjadi super kaya, ternya dia memberikan jawaban yang sama, karena kekyaan bukanlah kesuksesan baginya, ia menginginkan kesuksesan lain yang lebih menjanjikan.

Kesuksesan adalah terpenuhinya "Kehendak" Sejati di dalam diri. Kehendak sejati itulah yang memberikan peran kepada kita. Peran itu diwujudkan dalam bentuk fitrah dan talenta.Fitrah adalah sifat-sifat ketuhanan yang diberikan kepadamanusia. Dengan sifat-sifat inilah manusia memiliki dorongan untuk berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya, meniru sifat Allah sehingga terbentuk tatanan yang penuh rahmatan lil alamin. Dorongan fitrah ini dimiliki semua orang. asal mau jujur untuk memahami dorongan dari dalam dirinya, maka setiap orang-kelompok-masyarakat-bangsa, tidak akan terjebak pada keinginan egoistik yang ditunggangi aktor antahonis; Iblis dan setan. Jika pada setiap orang terdapat fitrah yang sama, maka talenta berbeda-beda pada setiap orang. Ada yang memiliki talenta sebagai ilmuwan, ada yang cenderung menjadi pedangang, artis, juru masak dan sebagainya dan seterusnya.
Gabungan antara fitrah dan talenta itulah yang membentuk peranmasing-masing orang. Sehingga siapa saja yang memahami talentanya dan menjalankan dengan mengikuti dorongan fitrahnya dan tidak terjebak pada keinginan yang ditunggangi aktor antagonis Iblis dan Setan, maka dia akan menjadi orang yang sukses. Misalnya; kalau dia menjadi seorang ilmuwan, maka karya-karyangan akan menjadi terobosan yang sangat mengagumkan dan menjadi jalan keluar bagi persoalan-persoalan kehidupannya dan orang-orang yang disekitarnya. Kalau dia menjadi pedangang, maka dia akan menjadi pedangan yang jujur dan baik, bukan hanya mencari keuntungan pribadi, seperti kapitalis dunia dewasa ini,yang keserakahannya telah menghancurkan perekonomian dunia, membawa korban kemiskinan sementara mereka tetap kaya raya.
7.                  Meraih Sukse dengan Do’a, Ikhtiar, Tawakkal dan Syukur
Merealisasikan Tawakkal
“Dalam merealisasikan tawakkal tidaklah menafikan melakukan usaha dengan melakukan berbagai sebab yang Allah Ta’ala tentukan. Mengambil sunnah ini sudah menjadi sunnatullah (ketetapan Allah yang mesti dijalankan). Allah Ta’ala memerintahkan untuk melakukan usaha disertai dengan bertawakkal pada-Nya,” demikian penuturan Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah selanjutnya[10].

Jadi intinya, dari penjelasan beliau ini dalam merealisasikan tawakkal haruslah terpenuhi dua unsur:
  1. Bersandarnya hati pada Allah.
  2. Melakukan usaha.
Inilah cara merealisasikan tawakkal dengan benar. Tidak sebagaimana anggapan sebagian orang yang menyangka bahwa tawakkal hanyalah menyandarkan hati pada Allah, tanpa melakukan usaha atau melakukan usaha namun tidak maksimal. Tawakkal tidaklah demikian.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Usaha dengan anggota badan dalam melakukan sebab adalah suatu bentuk ketaatan pada Allah. Sedangkan bersandarnya hati pada Allah adalah termasuk keimanan.”

Tawakkal Haruslah dengan Usaha
Berikut di antara dalil yang menunjukkan bahwa tawakkal tidak mesti meninggalkan usaha, namun haruslah dengan melakukan usaha yang maksimal.

Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً
“Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”

Al Munawi mengatakan, ”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan usaha. Tawakkal haruslah dengan melakukan berbagai usaha yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rizki dengan usaha. Sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rizki.”

Ibnu ‘Allan mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan, “Al Baihaqi mengatakan dalam Syu’abul Iman:

Hadits ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan melakukan usaha untuk memperoleh rizki. Bahkan hadits ini merupakan dalil yang memerintahkan untuk mencari rizki karena burung tersebut pergi di pagi hari untuk mencari rizki. Jadi, yang dimaksudkan dengan hadits ini –wallahu a’lam-: Seandainya mereka bertawakkal pada Allah Ta’ala dengan pergi dan melakukan segala aktivitas dalam mengais rizki, kemudian melihat bahwa setiap kebaikan berada di tangan-Nya dan dari sisi-Nya, maka mereka akan memperoleh rizki tersebut sebagaimana burung yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian kembali dalam keadaan kenyang. Namun ingatlah bahwa mereka tidak hanya bersandar pada kekuatan, tubuh, dan usaha mereka saja, atau bahkan mendustakan yang telah ditakdirkan baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi tawakkal.”

Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Orang yang duduk-duduk tersebut pernah berkata, ”Aku tidak mengerjakan apa-apa. Rizkiku pasti akan datang sendiri.” Imam Ahmad lantas mengatakan, ”Orang ini sungguh bodoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,
إِنَّ اللَّه جَعَلَ رِزْقِي تَحْت ظِلّ رُمْحِي
”Allah menjadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku.”

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang”. Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. Para sahabat pun berdagang. Mereka pun mengolah kurma. Yang patut dijadikan qudwah (teladan) adalah mereka (yaitu para sahabat).

Allah subhanahu wa ta’ala dalam beberapa ayat juga menyuruh kita agar tidak meninggalkan usaha sebagaimana firman-Nya,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ

”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.”
(QS. Al Anfaal: 60).

Juga firman-Nya,
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah.” (QS. Al Jumu’ah: 10). Dalam ayat-ayat ini terlihat jelas bahwa kita dituntut untuk melakukan usaha.

Daftar Pustaka
Abdul Aziz bin Muhammad Drs, Abd. Lathif, “ Pelajatran Tauhid untuk Tingkat Lanjutan”, Jakarta: Darul Haq, 1998. 

Abdul Halim Mahmud, Terapi Dengan Dzikir Mengusir Kegelisahan & Merengkuh Ketenangan Jiwa, Misykat. Jakarta: Mizan Publika, 2004.

Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji, At-Tawakkal Alallah Ta’al , Jakarta : PT Darul Falah, 2006
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Beirut, Dar al-Firk, t.th.
Al-Dimasyqi, Abu al-Fida Ismail Ibn Katsir al-Quraisyi, Tafsir Alquran al-Azim, Kairo, Dar al-Hadis, 1414 H/1993 M.
Al-Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia, Surabaya, Pustaka Progesif, 1984.
Asghari, Basri Iba, Solusi Alquran – Problematika Sosial, politik, dan Budaya, Jakarta, Rinekea Cipta, 1994.
Departemen Agama RI, Alquran dan Tafsirnya, Jakarta, Ferlia Citra Utama, 1996/1997.
 Labib Mz, Rahasia Kehidupan Orang Sufi, Memahami Ajaran Thoriqot & Tashowwuf Surabaya: Bintang Usaha Jaya

M. Amin, Aziz, Tirmidzi Abdul Majid, Analisa Zikir dan Doa, Jakarta: Pinbuk Press, 2004

Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. “Seajarah Dan Pengantar Ilmu Tauhid atau Kalam”, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.






0 komentar:


Designed by
Blog Need Money | Distributed Deluxe Templates